ELEGI CINTA PERTAMA

 


Hafidah. Sebuah nama yang cukup unik untuk seorang gadis. Tak ada kesan angkuh dalam sikapnya dalam bergaul meskipun ia berasal dari keluarga berada. Ayahnya adalah seorang pemilik toko yang cukup besar di kawasan pusat perbelanjaan terbesar di kota kami. Meskipun terkadang ia agak tertutup tapi ia tetap sosok gadis periang. Aku mengenalnya di salah satu sekolah swasta di mana kami menjadi siswa di kelas yang sama. Walaupun ia seorang gadis manis yang selalu mengawankan jiwaku saat berhadapan, namun tak berani aku nyatakan jika sesungguhnya hatiku terpaut padanya. Aku cukup tahu diri dengan keadaan kami yang berasal dari latar belakang berbeda apalagi aku tahu jika ia dekat dengan Hendra. Sahabat, kakak kelas sekaligus tetangga rumahku.

Rupanya aku tidak cukup baik menjadi seorang aktor. Ekspresiku tak bisa kusembunyikan saat berhadapan dengan Hafidah, sekalipun saat itu ada Hendra dan Effendi di antara kami..

Effendi adalah sahabat ku dan Hendra. Dan Effendi inilah yang pertama kali membaca perubahan rona wajahku saat bertemu Hafidah.

“Mu suka Hafidah?.” Tanya Effendi suatu siang saat aku mampir di rumahnya sepulang sekolah.

Deg. 

Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar pertanyaannya. Sesaat kutoleh wajahnya sekedar mencari tahu darimana dia tahu perasaanku ini.

“Tidak i. Masa mauka sama pacarnya temanku.” Kucoba untuk mengelabuinya.

“Jangan mako bohong, karena kentara sekali dari matamu.” Ujar Effendi lagi dengan sedikit terkekeh.


Ia terus berceloteh dan aku palingkan wajahku ke arah tape recorder di atas meja. Ku amati rodanya yang berputar menggulung pita kaset. Ku ikuti nyanyian Cinta Untuk Nabila yang dibawakan oleh grup band asal Malaysia, Melissa melalui rekaman kaset itu. Suaraku tidak merdu memang, tapi setidaknya celotehan Effendi tidak terdengar lagi olehku.

***

“Apa mubikin?.”. Sapa Hendra yang datang menghampiriku yang saat itu duduk di bawah pohon jambu air di depan kelas. Daun jambu yang rimbun membawa keteduhan di bawahnya membuat aku menjadikannya tempat favorit untuk membaca buku saat jam istirahat. Seolah menjadi jadwal tetap bagiku jika bel istirahat telah dibunyikan maka aku akan bergegas menuju kantin untuk mengisi perut.

 Selesai makan aku langsung membayar dan tidak berlama-lama lagi segera menuju ke bawah pohon jambu air yang dibawahnya ditumbuhi rumput Swiss hingga serupa permadani hijau. Seperti siang itu saat Hendra mendekati dan menyapaku. Kuangkat pandanganku dari buku latihan Muhadharah yang kubaca saat mendengar sapaannya. 

“Tidak ji, cuma membaca saja. Duduk sini.” Kuajak ia duduk di sampingku.

Tapi rupanya Hendra lebih suka menghempaskan pantatnya di rumput yang ada di depanku. Diam sejenak, ia lalu berkata. 

“Mu suka betul Hafidah?.”

Ah, kenapa pertanyaan itu lagi yang mesti ku dengar. Dan kali ini terlontar dari bibir Hendra, sahabatku yang juga teman dekat Hafidah.

“Ah tidak. Kenapa memang kah?.” Aku balik bertanya.

“Sudah ka bicara sama Effendi. Seperti dia, saya juga tahu kalau mu suka i.” Hendra menatap dalam ke mataku.

“Mau ka putuskan Hafidah.” Sambungnya. Mataku membelalak mendengar kalimat Hendra, jika pun petir meledak di ujung telingaku aku tidak akan sekaget itu. Ada perasaan senang yang merasuk, namun perasaan takut dianggap perusak jauh lebih besar dalam hatiku.

“Betul ko?. Tapi apa masalahnya, bukan ji gara-gara saya toh?. Tanyaku berdebar.

“Bukan, sama sekali bukan. Mu tau kalau ada pacarku selain Hafidah toh. Nah, minggu lalu na dapat ka Hafidah waktu sama ka pacarku. Di situ mi dia marah sekali.” Hendra menjelaskan pokok masalahnya.

“Jadi?.” tanyaku pendek.

“Tidak relaka sebenarnya putuskan Hafidah, tapi mau bagaimana lagi. Saya yang bodoh dan tidak setia. Jadi kalau mau ko sama dia, senang sekali ka ku rasa karena yakin ka kamu jauh lebih setia daripada saya.” Sambung Hendra lagi.

“Jujur saja ku suka memang itu cewek, tapi tidak ka mau kalau apa yang terjadi ini gara-gara saya. Tidak mauka kalau hancur persahabatan ta, apalagi tidak kutau juga mau kah Hafidah sama saya.”

“Pasti mau Hafidah sama kamu. Asal mau ko sabar dekati, mungkin masih sakit hati sama saya.” Hendra mencoba meyakinkanku.

“Yah... nantilah ku coba. Dengan syarat jangan sampai ini menghancurkan persahabatan ta nah.” 

“Siiip... oke, kalau begitu ke kelas ka dulu nah. Belajar ko, apalagi kelasmu nanti yang bertugas Muhadharah.” Ucapnya sambil bangkit dari duduk dan menepuk-nepuk belakangnya menghilangkan kotoran yang mungkin menempel saat ia duduk tadi.

Saya hanya tersenyum. Ku tatap tubuhnya yang perlahan menjauh hingga akhirnya menghilang ke dalam kelas. Ia nampak begitu lega.

****

Teng..... teng..... teng....

Bel pertanda berakhirnya jam istirahat telah berbunyi. Para siswa dan siswi bergegas memasuki ruang kelas masing-masing. Tiba di dalam kelas kulihat Hafidah belum nampak, tapi Suhartini yang menjadi teman semejanya sudah menduduki bangkunya. 

Kudekati Suhartini, setelah berdiri di sampingnya saya lalu bertanya.

“Mana Hafidah?.” Sambil melirik bangku kosong di samping Suhartini, aku bertanya. 

Tentu saja aku bertanya dengan perlahan sebab aku tak ingin satu kelas mendengarkannya.

“Dia ke koperasi, mau beli pulpen. Katanya na lupa tadi beli waktu istirahat. Kenapa?.” Agak curiga, Suhartini bertanya.

“Mau ka minta tolong. Kasi nanti ini surat sama dia kalau pulang ki. Sama jako pulang toh?.” Ku sodorkan surat dengan sampul bergambar tokoh Lupus berwarna biru muda pada Suhartini.

“Dari siapa?.” Tanyanya.

“Kasi mi saja.” Tegasku.

“Ekheemmm... cie...cie...” godanya disertai kerlingan sebelah matanya.

Suhartini mengambil surat itu sambil nyengir, setelah dipandangnya sekilas ia melipat dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. Tiba-tiba kulihat Hafidah sudah melangkah memasuki kelas.

“Jangan ko lupai nah.” Kembali kuingatkan Suhartini sebelum buru-buru kutinggalkan mejanya, dan ia hanya membalasnya dengan anggukan kecil.

****

Sudah empat hari sejak surat untuk Hafidah kutitipkan pada Suhartini, namun belum juga ada balasan yang kuterima.

Setiap kutanya, Suhartini juga hanya menggeleng saja. Perasaanku semakin tidak menentu. Hingga kemudian pada hari kelima. Sehabis shalat Dzuhur berjamaah di mushallah sekolah siang itu, aku bermaksud langsung pulang saja sebab tak ada lagi pelajaran yang harus aku ikuti. Namun baru saja aku berdiri, kulihat Suhartini melambai memanggilku dari arah tempat jamaah perempuan. 

Aku mendekat ke arah tirai berwarna hijau yang membatasi jamaah laki-laki dan jamaah wanita. Suhartini bangkit berdiri mendekatiku, nampak Hafidah yang tadi duduk di sampingnya menengok sesaat untuk kemudian tertunduk malu-malu. 

“Dari Hafidah.” Katanya sambil disodorkannya sepucuk surat bersampul merah jambu yang segera saja kuraih. 

“Terima kasih nah.” 

Kulipat surat itu dan kumasukkan ke saku baju. Sungguh aku penasaran dengan isi surat itu, meskipun saat kulihat sikap Hafidah yang menunduk malu-malu dan seolah salah tingkah saat Suhartini menyodorkan surat itu padaku telah menjadi petunjuk bahwa perasaanku padanya pasti bersambut. 

Namun kucoba untuk menekan rasa penasaran itu dengan memperlihatkan sikap setenang mungkin. 

“Duluan ka nah.” Aku pamit pada Suhartini. Sengaja suaraku sedikit aku keraskan sambil menoleh pada Hafidah yang masih duduk memegang mukena yang tadi dipakainya dan telah terlipat rapih. Dan benar saja, mendengar aku pamit Ia menoleh padaku hingga pandangan mata kami bertemu. Kembali ia menunduk dengan buru-buru menyembunyikan binar-binar indah dari matanya.

Melewati gerbang sekolah, aku semakin mempercepat langkahku. Jika mungkin, ingin rasanya aku menumbuhkan sayap di punggungku agar bisa terbang dan secepatnya tiba di rumah. 

Aku sudah tidak sabar ingin membaca surat dari Hafidah yang sudah empat hari ini kunantikan dengan penuh harap. Beberapa kali aku meraba saku bajuku untuk memastikan jika surat itu masih ada di sana, tak bisa kubayangkan entah apa jadinya jika surat itu jatuh dan hilang tanpa aku sadari.

“Assalamu Alaikuuum.” Aku memberi salam ketika berada di ambang pintu rumah, namun aku tak menunggu jawaban. Aku langsung saja masuk dan bergegas menuju ke kamarku. 

Ku lemparkan tas sekolah ke meja dan tubuhku ku hempaskan ke atas tempat tidur. Perlahan kukeluarkan surat dari Hafidah, dan tanpa sadar kukecup surat itu. Tercium aroma wangi yang manis dan lembut  menyusup masuk kehidungku. Lalu dengan hati-hati kusobek bagian tepi sampulnya.

Rupanya isi surat itu dilipat sedemikian rupa hingga untuk sesaat aku tak tahu harus bagaimana untuk bisa membuka lipatannya.

“Origami yang unik dan indah.” Ucapku dalam hati.

Rupanya isi surat itu dua lembar yang dilipat jadi satu. Cukup panjang memang isinya, namun intinya Hafidah menerima cintaku. 

Membaca isi suratnya, aku merasa jika kamarku seketika berubah menjadi taman penuh bunga warna-warni yang memancarkan wangi semerbak. Jiwaku melayang menembus awan.

Esoknya, setelah bel istirahat berbunyi aku langsung menemui Hafidah. Kuajak ke kantin lalu setelahnya ku ajak pula ia ke bawah pohon jambu air untuk sekedar duduk atau membaca bersama. 

Kami tak pernah absen untuk berjalan beriringan saat pulang sekolah dan itu kami lakukan selama kurang lebih setahun hingga acara pelulusan sekolah. 

“Mau ka ke Topoyo besok.” Kata Hafidah suatu hari saat kami bertemu disuatu malam.

Sore itu, melalui pesan yang dibawa seorang tetangganya kami memang berjanji untuk bertemu dipasar malam. Pasar malam yang berlangsung di alun-alun kota kami itu memang sangat ramai pada malam Minggu. 

Berbagai kalangan datang untuk berbelanja maupun sekedar mencari hiburan atau pasangan muda yang hanya sekedar jalan-jalan seperti kami. Kotaku memang tidak punya banyak tempat hiburan waktu itu, paling hanya pasar malam atau pertunjukan komedi putar yang biasanya diadakan beberapa bulan sekali.

Tidak seperti sekarang di mana rumah karaoke, wisata alam, atau warnet banyak menjamur. 

Ia datang dengan baju berwarna biru, warna kesukaanku. Cantik sekali ia malam itu, tanpa polesan make-up sedikitpun di wajahnya.

“Lama ki kah?.” Tanya ku memecah sunyi di antara kami.

“Tidak ji. Mungkin satu minggu.” Jawabnya singkat.

“Sama ki keluarga ta?.” Tanya ku kembali. Mataku tidak berpaling dari wajahnya. 

“Iye.” Jawabnya singkat.

Kami bertatapan mata beberapa jenak hingga ia merasa jengah dan memalingkan wajahnya. Dipandanginya kerumunan ibu-ibu yang merubungi penjual pakaian loakan, berebutan memilih pakaian bekas yang menarik perhatian mereka. Selanjutnya obrolan kami diisi dengan perbincangan ringan hingga waktu menunjukkan pukul 22.00 wita. dan ku ajak ia untuk pulang. Ku antar dirinya hingga ke depan pintu rumahnya. Setelah pamit dan melepas genggaman tangannya, aku melangkah pulang.

***

Akan menikah:

Hafidah dan Muhammad Askar

Mataku nanar menatap surat undangan di tanganku. Tak kuhirau lagi sepasang pembawa undangan dengan pakaian adat tradisional yang pamit untuk kembali. Jantungku terasa mengkerut tak mampu memompa darah. 

Baru dua minggu setelah Hafidah pamit untuk ke Topoyo, tiba-tiba undangan ini aku terima. Apa sebenarnya yang terjadi?. Apakah ia dijodohkan oleh orang tuanya?. 

Apakah ia sengaja untuk berdusta dan berpura-pura akan ke Topoyo demi menghindari aku?. Apakah semua itu semua hanya sekedar sandiwara cinta?. 

Tak mampu lagi ku cari jawaban semua itu dan aku tak berusaha juga untuk mencari jawabannya.

Dengan memakai jas tertutup berwarna hitam dan celana panjang warna hitam pula, aku menaiki tangga pelaminan. Nampak wajah Hafidah gelisah melihat kehadiranku. 

Perlahan kudekati dan kusodorkan tangan. 

“Selamat,” lirihku.

“Terima kasih sudah mau datang.” Balasnya.

Entah apa perasaan yang ada di dalam hatinya, meski dilapis kaus tangan. Namun rasa dingin dari telapak tangannya masih mampu menjalar hingga ke tanganku. 

Hingga kemudian kulepaskan jabat kami dan aku turun dari pelaminan, meninggalkan tempat pesta tanpa sedikitpun berpaling lagi. 

Ku bawa luka hati dan membiarkan embun membasuhinya. Berharap tak butuh waktu lama untuk menyembuhkannya. 

Aku mendoakan agar kau bahagia.

Bersama si dia

Insan yang kau suka

Percintaan kita tak sampai ke mana

Setakat di bibir saja

Sayang

Kau bina mahligai dari air mata

Yang jatuh berderai di wajah sepiku

Hancurnya hatiku bisa tak terkata

Terhumban rasa diriku

Oh aduhai

Ku masih ingati

Janji manis dan saat romantis

Kau pintaku supaya setia

Akhirnya kau yang berubah

.........................

Dari suara orkes yang menghibur acara pesta pernikahan itu, makin sayup syair lagu Mahligaimu Dari Air Mataku dari kelompok band Lestari terdengar di telingaku saat aku melangkah semakin menjauh.


Komentar